SUARAPUBLIK.ID, PALEMBANG – Terdakwa Ahmad Effendy Noor (tak ditahan) yang diduga edarkan pupuk merk Avatara tanpa izin dan label resmi, melalui kuasa hukumnya menyampaikan nota pembelaan (pledoi) pada persidangan yang digelar di PN Palembang, Senin (20/1/2025).
Dihadapkan Majelis hakim Agung Ciptoadi, SH., MH, serta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sumsel, terdakwa melalui kuasa hukumnya secara bergantian membacakan nota pembelaan (pledoi).
Seusai sidang terdakwa Ahmad Effendy Noor didampingi tim kuasa hukumnya Syamsudin SH MH didampingi Indra Rusmi SH MH dan Adi Pambudi SH, mengatakan bahwa pembelaan atau pledoi intinya, menanggapi tuntutan jaksa selama 3 tahun. Menurutnya tuntutan tersebut terlalu tinggi, sebab kasus ini hanya sebatas bentuk administrasi perizinan.
“Pembelaan kami yang utama mengurai dari proses penyelidikan maupun penyidikan, terdapat cacat formil dimana polisi seharusnya membuat laporan dahulu, barulah melakukan penyitaan. Tapi faktanya di dalam berita acara penyitaan, di LP 14 tanggal 20 Februari, tapi LP 14 terbit tanggal 6 Maret 2023 sebagai dasar,” jelas Indra saat ditemui di Pengadilan Negeri Palembang.
Lanjut Indra lagi, kedua, kita menanggapi ada 3 orang ditangkap menjadi tersangka, yaitu Furqon, Nussaadah dan Ajis Mukholis. Tapi statusnya sekarang mereka menjadi saksi. Justru klien kami Effendi Nor menjadi terdakwa. Terhadap Pasal 55 turut serta kan tidak bisa berdiri sendiri, harus lebih dari satu.
Terhadap fakta persidangan dari ahli, yang diajukan dari Kementrian Pertanian, lebih spesifik menjelaskan uji mutu Lab. Dimana di UU sistem pertanian berkelanjutan, diatur Pasal 66 dan Pasal 21, standar mutu.
“Berarti penerapannya harus standar pasal mutu lah. Sedangkan ini dikenakan pasal mengedarkan. Jadi keterangan ahli dan penerapan hukum tidak singkron. Terhadap penerapan UU Konsumen, sudah jelas tidak ada konsumennya. Siapa konsumen yang dirugikan?,” tegasnya.
Masih kata Indra, dari penyelidikan sampai persidangan, pihaknya sudah memperlihatkan adanya izin yang mati. Dan 4 izin, yang 3 izin sedang diurus. “Tapi itu tidak menjadi pertimbangan, oleh JPU malah yang memberatkan bahwa berpotensi merusak tanaman. Mana bukti tanaman rusak? mana petaninya?.
“Dasar dakwaan jaksa sendiri, terdakwa dipandang tidak mendukung pemerintah dan pupuk berpotensi merusak tanaman. Sementara pupuk tidak pernah dihadirkan, tidak ada saksi petani”ucapnya.
Jadi kami berharap, jika terdakwa Effendi Noer terbukti bersalah, tapi ini bukan suatu perjuatan pidana. Maka terdakwa dapat dilepaskan dari segala tuntutan.”pintanya.
“Kedua, jika terdakwa bersalah perihal administratif, karena kelalaian sifatnya ringan, UU Sistem Budidaya Berkelanjutan, sebelum sanksi pidana mengatur sanski administratif. Dimana harus ada teguran! pemeriksaan terhadap perusahaan, pencabutan izin, mengambil pupuk itu tidak dilakukan. Tiba – tiba langsung tersangka dan pidana,” terang Indra Rusmi SH MH.
Sementara terdakwa M Effendy Nor dalam pembelaan pribadinya menegaskan bahwa terkait pengurusan izin pupuk di sistem Kementrian Pertanian yang sudah ditunjukan, tidak dijadikan bukti bahan di persidangan.
“Sehingga kepada yang mulia, saya meminta keadilan, karena saya bukan pelaku kriminal, pencuri, koruptor. Melainkan saya membantu petani pada saat situasi Covid 19. Serta membantu program pemerintah dalam swasembada pangan, demikian pembelaan saya sampaikan dengan sebenar – benarnya,” jelas Effendy Nor.
Seperti diketahui dalam sidang sebelum Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sumsel menuntut terdakwa Ahmad Effendy Noor dengan pidana penjara selama 3 tahun serta denda Rp 50 juta subsider 6 bulan.
Selain itu terdakwa juga dinyatakan oleh JPU dalam tentunya menyatakan bahwa perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan atau turut serta melakukan telah mengedarkan pupuk yang tidak terdaftar dan/atau tidak berlabel.
Sehingga atas perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam pasal 122 Jo. Pasal 73 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (ANA)
Komentar