SUARAPUBLIK.ID, PALEMBANG– Lahan gambut Indonesia yang luas, hampir 24 juta hektar, kini menjadi sorotan utama dalam upaya global mitigasi perubahan iklim. Meskipun lahan gambut memiliki peran vital dalam menyimpan karbon dan mendukung keanekaragaman hayati, pengelolaan yang tidak tepat justru menyebabkan kerusakan ekologis dan meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). Praktik drainase berlebihan untuk membuka lahan, misalnya, menyebabkan gambut menjadi kering, rentan terbakar, dan menyumbang emisi besar yang berkontribusi pada pemanasan global.
Namun, di tengah tantangan tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menghadapi permasalahan ini dengan cara yang lebih berkelanjutan. Salah satu langkah strategis yang diambil adalah dengan mengembangkan proyek Peat-IMPACTS Indonesia, yang berfokus pada pengelolaan gambut yang adaptif dan berkelanjutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Proyek ini merupakan hasil kolaborasi antara Kementerian Pertanian, International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang bertujuan untuk mengurangi emisi GRK serta memperkuat kapasitas petani melalui pelatihan dan penerapan teknik pertanian ramah lingkungan.
Pada acara Ekspose Nasional Pahlawan Gambut yang digelar pada 12 November di Jakarta, Dr. Ladiyani Retno Widowati, Kepala Balai Pengujian Standar Instrumen Tanah dan Pupuk Kementerian Pertanian, menekankan pentingnya pengelolaan lahan gambut yang bijaksana. “Dampak dari praktik drainase yang tidak terkendali adalah penurunan kualitas lahan dan peningkatan emisi GRK, yang berdampak buruk pada perubahan iklim,” ujar Dr. Ladiyani.
Sejak dimulai pada 2020, proyek Peat-IMPACTS telah berhasil memperkenalkan teknik pengelolaan gambut yang tidak hanya menjaga keberlanjutan lingkungan tetapi juga mendukung peningkatan kesejahteraan petani. Pelatihan kepada petani dan pemberdayaan masyarakat lokal menjadi bagian dari upaya untuk menciptakan solusi yang dapat diterapkan dalam skala luas, mengingat dampaknya yang tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga untuk dunia.
Dalam sambutannya, Direktur ICRAF Program Indonesia, Andree Ekadinata, menyampaikan apresiasi atas kolaborasi para pihak dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. “Peat-IMPACTS bertujuan memperkuat kapasitas para pemangku kepentingan dan menciptakan solusi nyata untuk pengelolaan gambut yang adaptif dan berkelanjutan,” ujarnya.
Kepala Badan Standardisasi dan Instrumen Pertanian, Prof. Dr. Fadjri Djufry, melalui perwakilannya, Dr. Ir. Haris Syahbuddin, menyatakan bahwa penerapan praktik baik yang telah diuji di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat dapat memperluas dampaknya. “Jika inisiatif ini diterapkan di seluruh Indonesia, manfaatnya akan sangat besar, baik untuk negara kita maupun untuk upaya global dalam menanggulangi perubahan iklim,” katanya.
Dengan tantangan besar yang dihadapi dalam menjaga kelestarian ekosistem gambut, pemerintah Indonesia berharap proyek seperti Peat-IMPACTS dapat menjadi model pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, sekaligus mendukung target nasional pengurangan emisi GRK dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) sebesar 29% pada 2030.
Keberhasilan proyek ini bukan hanya soal mengurangi kebakaran dan deforestasi, tetapi juga tentang mengubah cara masyarakat dan pemerintah memandang dan mengelola lahan gambut. Sebagai penyangga karbon terbesar di dunia, ekosistem gambut Indonesia menjadi kunci dalam menjaga kestabilan iklim global. Oleh karena itu, pengelolaan yang berkelanjutan menjadi urgensi yang harus dilakukan agar bumi tetap aman dari ancaman perubahan iklim yang semakin nyata.
Jumlah Pembaca: 658
Komentar