SUARAPUBLIK.ID, PALEMBANG – Dua terdakwa Bambang Gusriandi dan Mirdayani, mengungkap bahwa kerugian negara sebesar Rp342 juta dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan dana Korpri Banyuasin tahun 2022-2023, sudah dikembalikan dan mengaku berdasarkan paksaan dari Sekda Banyuasin.
Hal itu dikatakan dua terdakwa tersebut, dihadapan majelis hakim yang diketuai Masrianti SH MH dalam sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Palembang.
Masing-masing tim penasehat hukum terdakwa juga mengatakan, bahwa dalam perkara KORPRI Banyuasin sudah tidak ada lagi kerugian negara karena sudah dikembalikan semua.
Menanggapi hal tersebut, Kasi Pidsus Kejari Banyuasin Hendy Tanjung SH MH menjelaskan, bahwa pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana pelaku tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
“Bahwa ada persamaan fakta hukum disini antara JPU dan Terdakwa serta penasehat hukum terdakwa, memang benar para terdakwa pada proses penyidikan ada menyerahkan dan menitipkan kerugian negara berdasarkan audit investigasi yang dilakukan Inspektorat Kabupaten Banyuasin berdasarkan permintaan dari Kejaksaan Negeri Banyuasin. Itikad baik tersebut, jelas kami jaksa penyidik menghargai hal tersebut, karena eksistensi dari penegakan hukum atas perkara tindak pidana korupsi adalah pengembalian kerugian negara. Namun perlu diingat kembali inti dari pasal 4 itu sendiri, selain itu Jaksa Hanya membuktikan fakta fakta hukum dipersidangan sesuai dakwaan, bukan menafsirkan, perkara ini diajukan JPU kedepan persidangan atas fakta-fakta hukum dan alat bukti untuk mencari kebenarannya,” jelas Hendy, Jumat (6/9/2024).
Dikatakannya, Audit yang digunakan oleh Inspektorat adalah data-data dari Jaksa Penyidik, Karena Jaksa Penyidik Kejari Banyuasin yang memintakan bantuan untuk audit investigas atas perhitungan kerugian negara perkara tersebut.
“Sudah tentu Jaksa Penyidik harus memberikan alat buktinya kepada inspektorat baik itu berupa dokumen-dokumen dan alat bukti lainnya yang didapat dari hasil penyidikan, dan dokumen serta alat bukti itu diterima oleh jaksa penyidik dari para saksi, termasuk diantaranya dari para Terdakwa salah satunya bukti berupa buku milik saudara Mirdayani yang mencatat semua pengeluaran dana KORPRI, serta flashdisk yang berisi bukti percakapan antara para terdakwa terkait pengeluaran dana KORPRI, yang diserahkan terdakwa Mirdayani kepada jaksa penyidik dan telah dilakukan penyitaan dimana semua alat bukti telah dihadirkan didepan persidangan dan diakui oleh para terdakwa,” kata Hendy.
Dalam setiap tindak pidana lanjut Hendy, terdakwa mempunyai hak untuk mengingkari ataupun tidak mengakui tindak pidana yang didakwakan terhadapnya.
“Hak ini disebut dengan hak ingkar yang diatur dalam Pasal 52 KUHAP, dan JPU sangat memahami dan menghormati hak terdakwa tersebut, karena didalam pasal 184 KUHAP ayat 1 menjelaskan apa itu alat bukti yang sah, dimana secara berurutan keterangan terdakwa ada diurutan ke 5 setelah petunjuk, dan keterangan saksi ada di nomor 1,” jelasnya.
Lalu lanjut Hendy, keterangan ahli kemudian surat. Memperhatikan keterangan para terdakwa dan penasehat hukum didepan persidangan terdapat ketidaksinkronan yang membuat fakta hukum menjadi tidak jelas, dimana terdakwa menjelaskan pertama para terdakwa merasa dipaksa untuk mengembalikan kerugian negara.
“Namun pada keterangan berikutnya para terdakwa merasa kerugian negara tidak ada karena sudah dikembalikan oleh para terdakwa pada tahap penyidikan, hal ini menjadi fakta hukum yang bias namun satu hal yang pasti atas keterangan para terdakwa tersebut yaitu, terdakwa dan penasehat hukumnya mengakui bahwa uang yang diserahkan dan dititipkan kepada jaksa penyidik pada saat tahap penyidikan merupakan kerugian negara, dan hal tersebut sejalan dengan dakwaan JPU,” jelasnya. (ANA)
Komentar