SUARAPUBLIK.ID, PALEMBANG – Terlibat kasus dugaan penipuan, Raden Fuazi, kembali jalani sidang di Pengadilan Negeri Palembang, dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi, Selasa (21/5/2024).
Dihadapkan majelis hakim, Siti Fatimah SH MH, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sumsel Rini Purnamawati SH, menghadirkan tiga orang saksi.
Saksi Syaifuddin sebagai investor, mengatakan kepada JPU Kejati Sumsel, bahwa PT Adelia Mitra Perkasa atau PT AMP merupakan perusahaan group terdakwa yang menggarap proyek bumi hejo kahuripan atau BHK.
Untuk penyerahan uang saksi Syaifuddin dan saksi Ulung Sampurna di Palembang. Berupa 1000 gram emas, 60 ribu dolar Singapura yang total Rp 2,350 miliar.
“Saat penyerahan pak Ulung juga menyaksikan. Setelah uang diterima, lalu cek lapangan, yang berupa hamparan saja. Banyak lahan tanaman singkong dan padi,” kata saksi.
Kemudian untuk mencukupi Rp 5 miliar, Saksi Ulung Sampurna mentransfer sekitar Rp 3 miliar secara bertahap, sebagian ke terdakwa Fauzi sebagian ke istrinya Yufi.
Syaifuddin mengatakan, keuntungan akan diperoleh dalam waktu 2 – 3 bulan, baik dari penjualan tanah, namun rupaya pengerukan tanah pun tidak ada.
“Kami sudah mencoba itikad baik, minta kembalikan uang, kalau pekerjaan tidak jelas, tetapi janji – janji saja. Saya tidak tahu uangnya dipakai untuk apa, sama terdakwa. Dan sampai saat ini sepeser pun tidak dikembalikan,” ungkap saksi.
Selanjutnya keterangan saksi Giri, mengatakan kepada JPU Rini Purnamawati, ia baru mengetahui proyek ini, setelah pak Ulung menerima proposal dari terdakwa. Dan diminta untuk mempelajari 2 proposal.
“Tanahnya berupa kebun petani, pak Ulung cerita sudah mentranfer uang Rp 3 miliar ke terdakwa Fauzi dan istrinya Yufi. Namun belakangan, proyeknya tidak jalan, maka saya disuruh memantau, karena sudah setahun tidak ada progres. Terdakwa Fauzi, juga mengatakan, Bank DKI mau membeli tanah pemakaman, rupanya tidak ada juga,” ungkap Giri.
Kemudian giliran saksi Herman dicecar JPU Kejati Sumsel, saksi membenarkan diminta terdakwa Fauzi, untuk membantu pembukuan proyek BHK, berupa agro wisata dan pemakaman.
“Apakah terdakwa menerima uang dari dua investor Syaifuddin dan Ulung Sampurna?,” tanya JPU.
“Saya tidak tahu uang itu, tapi saya menerima uang operasional, kebanyakan dari rekening ibu Yufi. Digunakan untuk projek pemetaan, survey, koordinasi dengan pihak terkait seperti BPN,” kata saksi.
“Totalnya Rp 1 miliar lebih, uang Rp 300 juta untuk Arief Nurdin (DPO) sebagai pencetus proyek BHK. Ada membuat perizinan ke pemda setempat, lalu ada 100 juta lainnya. Tapi proyek BHK seluas 32 hektar tidak berjalan, karena masalah di lapangan. Lokasinya merupakan sawah dilindungi untuk petani, bukan untuk wisata,” ungkap Herman.
Advokat Emil Zulfan SH didampingi M Al Faisal SH selaku tim kuasa hukum terdakwa Fauzi selanjutnya giliran mengajukan pertanyaan kepada saksi – saksi.
Disinggung Emil, perihal kerugian dialami saksi Syaifuddin, saksi mengaku berupa uang miliknya ada kwitansi dan uang milik orang tuanya. Saksi mengatakan tidak tahu dengan PT Adelia Mitra Perkasa atau PT AMP.
“Saya hanya memberikan dana untuk pembebasan lahan. Nanti, dari pengerukan tanah juga, bisa mendapat uang. Tapi ada juga menerima honor, misal dari kegiatan cek lapangan,” kata Syaifuddin.
Syaifuddin mengenal terdakwa Fauzi, sebagai pengusaha rental mobil dan carwash. Sampai Fauzi menawarkan proyek pemakaman dan destinasti wisata ini.
“Percaya karena, saat itu juga ada proyek kereta cepat di Purwakarta, Bandung dan proyek jalan tol tahap 2. Terdakwa mengatakan tanahnya bisa dijual untuk pembangunan tol. Satu truk tanah sekitar Rp 400 ribu, dari modal Rp 2 miliar 350 juta akan kembali sebelum 3 bulan,” terang saksi.
Sejak tanggal 25 september 2021, setelah uang dan emas diserahkan, kemudian melakukan pengecekan lapangan. Namun selama 3 bulan, Oktober, November dan Desember, belum ada juga pembebasan, janjinya 3 bulan. Alasanya masih negosiasi dengan pemilik lahan. Dari tiga bulan lebih terus komunikasi, pembebasan belum ada, sampai tanggal 23 Oktober 2023, maka membuat LP,” jelas saksi.
Untuk modal saksi Ulung Sampurna sendiri, uang sekitar Rp 2 miliar telah ditransfer secara bertahap.
“Lalu untuk surat jaminan rumah dari terdakwa Fauzi yang diberikan?,” tanya kembali Emil.
“Kalau janji ada, namun surat sahnya belum ada,” ujar Syaifuddin.
Rini kembali mencecar saksi Herman, terkait peruntukan uang modal untuk proyek destinasi wisata itu.
“Ada uang untuk PT Adelia Mitra Perkasa, seperti survey pemetaan wilayah, total 450 jutaan, untuk pengurusan izin dan lapangan. Namun yang Rp 700 juta kurang efektif. Totalnya Rp 1,2 miliar,” kata Herman.
Saksi Giri sebagai ajudan saksi Ulung Sampurna, kembali mengatakan kepada advokat Emil Zulfan, terkait surat pengembalian uang Rp 4 miliar.
“Sebagai ajudan pak Ulung, saat itu saya diminta menagih uang modal untuk proyek. Saya berusaha menagih, dari janji Rp 1,2 miliar, sampai surat perjanjian mengembalikan Rp 4 Miliar, ternyata tidak ada hanya janji semata. Saya pernah somasi, menagih terdakwa Fauzi, untuk kapan mengembalikan uang milik pak Ulung,” ungkap Giri.
Majelis hakim menegaskan, bila uang modal milik saksi Ulung Sampurna Rp 2 miliar dan uang saksi Syaifuddin Rp 2,3 miliar, hampir Rp 5 miliar, yang jumlahnya tentu banyak, sehingga terus ditagih saksi.
Terakhir terdakwa Fauzi menyanggah keterangan para saksi. Diantaranya Fauzi mengakui, total uang yang ia terima Rp 4,9 miliar.
“Pak Syaifuddin itu selama 2 tahun, tahu perjalanan proyek ini, karena sering bersama saya. Kemudian pengembalian Rp 150 juta, ada bukti screenshootnya ke Surya,” tanggap Fauzi.
Fauzi juga menegaskan, bahwa inisiator proyek ini Arief Nurdin (DPO) bukan dirinya. “Soal jaminan sertifikat, katanya tidak absah secara legal, tapi sertifikat sudah diberikan ke Giri. Sertifikat sudah diatas namakan satu SHM, dan ada pada pak Syaifuddin Gayo,” jelasnya.
Fauzi menyebutkan lagi, sejumlah uang Rp 238 juta telah di transfer ke Syaifuddin Gayo, ada berupa gaji dan pemberian saja. Saksi Syaifuddin sendiri, mengaku ada menerima honor Rp 5 juta setiap bulannya.
Dari dakwaan diketahui, akibat perbuatan terdakwa, saksi Ulung Sampurna mengalami kerugian sebesar Rp 3 miliar dan saksi Syaifuddin Rp 2 miliar Rp 350 juta. Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 372 KUHP. (ANA)
Komentar