OJK dan BPS Umumkan Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan Nasional melalui SNLIK 2025

Jakarta38 Dilihat

SUARAPUBLIK.ID, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025, yang menunjukkan adanya kemajuan signifikan dalam pemahaman dan akses masyarakat terhadap layanan keuangan di Indonesia. Hasil survei yang dipresentasikan oleh Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan OJK, dan Ateng Hartono, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, mengungkapkan bahwa indeks literasi keuangan Indonesia mencapai 66,46 persen sementara indeks inklusi keuangan mencapai 80,51 persen.

 

Peningkatan yang tercatat pada SNLIK 2025 ini merupakan hasil dari kerja sama antara OJK dan BPS yang berlangsung sejak 2024. Pada tahun sebelumnya, angka literasi keuangan Indonesia tercatat hanya 65,43 persen, sementara angka inklusi keuangan berada pada 75,02 persen. Angka-angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan yang konsisten, yang tidak hanya mencerminkan pertumbuhan sektor keuangan, tetapi juga semakin banyaknya masyarakat yang teredukasi dalam penggunaan produk dan layanan keuangan.

 

Meningkatnya literasi keuangan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin mampu memahami berbagai produk keuangan yang ada, dari perbankan hingga layanan fintech. Dengan adanya pemahaman yang lebih baik mengenai produk-produk ini, diharapkan masyarakat dapat mengambil keputusan yang lebih bijak dalam mengelola keuangan mereka, baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk perencanaan jangka panjang.

 

Survei SNLIK 2025 menggunakan dua metode perhitungan yang berbeda. Metode pertama, yang disebut Metode Keberlanjutan, mempertahankan cakupan sektor yang sama seperti pada survei sebelumnya, yaitu sektor perbankan, pasar modal, asuransi, dan lainnya, serta sistem pembayaran. Metode ini digunakan untuk mengukur keberhasilan program literasi dan inklusi keuangan OJK. Sedangkan, metode kedua, yaitu Metode Cakupan DNKI, memperluas cakupan sektor keuangan dengan menambahkan badan penyelenggara jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, serta lembaga keuangan lain seperti koperasi simpan pinjam.

Baca Juga :  PGN Jaga Kinerja Operasional dan Ketahanan Energi Nasional di Kuartal I 2025

 

Dari kedua metode tersebut, hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan. Dengan Metode Keberlanjutan, indeks literasi keuangan tercatat sebesar 66,46 persen dan inklusi keuangan 80,51 persen. Namun, dengan Metode Cakupan DNKI, literasi keuangan sedikit lebih tinggi, mencapai 66,64 persen, sementara inklusi keuangan melonjak tajam ke 92,74 persen. Angka-angka ini menunjukkan bahwa apabila seluruh sektor keuangan yang lebih luas diperhitungkan, akses masyarakat terhadap layanan keuangan akan lebih terbuka.

 

Secara keseluruhan, survei ini juga menyoroti perbedaan signifikan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Di wilayah perkotaan, indeks literasi keuangan mencapai 70,89 persen, sementara inklusi keuangan berada di angka 83,61 persen. Sebaliknya, di perdesaan, literasi keuangan tercatat 59,60 persen dan inklusi keuangan 75,70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan besar dalam pemahaman dan akses ke layanan keuangan antara masyarakat kota dan desa.

 

Selain itu, faktor pendidikan turut mempengaruhi tingkat literasi dan inklusi keuangan. Mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, seperti lulusan perguruan tinggi, menunjukkan indeks literasi keuangan yang lebih tinggi, yaitu 90,63 persen. Sementara itu, mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah, seperti yang hanya tamat SD atau bahkan belum pernah bersekolah, menunjukkan angka yang jauh lebih rendah, yakni 43,20 persen untuk literasi keuangan.

Baca Juga :  PGN Jaga Kinerja Operasional dan Ketahanan Energi Nasional di Kuartal I 2025

 

OJK dan BPS juga memaparkan bahwa literasi keuangan syariah, meskipun masih relatif rendah, menunjukkan potensi yang besar untuk berkembang. Literasi keuangan syariah tercatat sebesar 43,42 persen, sementara inklusi keuangan syariah baru mencapai 13,41 persen. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada perkembangan, sektor keuangan syariah masih memiliki ruang besar untuk tumbuh, terutama dalam hal inklusi keuangan.

 

Kelompok usia juga mempengaruhi angka literasi dan inklusi keuangan. Mereka yang berusia 26-35 tahun dan 18-25 tahun memiliki tingkat literasi keuangan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya, dengan angka masing-masing sebesar 74,04 persen dan 73,22 persen. Sedangkan kelompok yang berusia lebih tua, yaitu 51-79 tahun, memiliki angka literasi yang jauh lebih rendah, yaitu 54,55 persen. Hal ini mencerminkan pentingnya pendidikan keuangan sejak usia muda, agar masyarakat dapat lebih siap menghadapi tantangan finansial di masa depan.

 

Sementara itu, data berdasarkan pekerjaan juga memperlihatkan bahwa pekerja profesional dan pengusaha memiliki tingkat literasi keuangan yang lebih tinggi. Para pensiunan juga menunjukkan angka yang relatif tinggi, mencerminkan bahwa mereka mungkin telah memiliki pengalaman dalam mengelola keuangan selama bekerja. Sebaliknya, petani, nelayan, dan mereka yang tidak bekerja memiliki tingkat literasi keuangan yang lebih rendah, dengan angka 49,36 persen untuk mereka yang tidak bekerja dan 58,87 persen untuk petani.

Baca Juga :  PGN Jaga Kinerja Operasional dan Ketahanan Energi Nasional di Kuartal I 2025

 

Melihat hasil dari SNLIK 2025, OJK menyadari bahwa masih ada tantangan besar dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. Meskipun angka-angka ini menunjukkan kemajuan, masih banyak segmen masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah perdesaan, yang perlu didorong untuk lebih memahami produk keuangan dan cara mengaksesnya. Oleh karena itu, OJK berencana untuk memperluas program edukasi keuangan, dengan fokus pada kelompok-kelompok yang memiliki tingkat literasi yang lebih rendah, seperti perempuan, pelajar, dan mereka yang memiliki pendidikan rendah.

 

Ke depan, OJK berencana untuk mengintensifkan upaya literasi dan inklusi keuangan melalui berbagai inisiatif dan program. Salah satunya adalah penguatan Peta Jalan Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen (2023-2027), serta mendukung pencapaian tujuan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Diharapkan, dengan peningkatan literasi dan inklusi keuangan ini, masyarakat Indonesia dapat lebih bijak dalam mengelola keuangan pribadi dan berkontribusi pada perekonomian yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

    Komentar