SUARAPUBLIK.ID, PALEMBANG – Dalam upaya menjawab tantangan perubahan iklim dan degradasi lingkungan, program Epistem (Evolving Participatory Information System for Nature-based Climate Solutions) resmi memperkenalkan teknologi pemetaan bentang lahan berbasis data terbuka di Sumatera Selatan.
Indonesia, melalui sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya (AFOLU), terus memperkuat langkah-langkah pencegahan deforestasi serta restorasi lahan terdegradasi. Dalam proses ini, kebutuhan akan data yang akurat, transparan, dan mudah diakses menjadi sangat krusial—baik untuk perencanaan, implementasi, hingga pemantauan program.
Epistem hadir untuk mengisi celah tersebut. Melalui teknologi pemetaan canggih, program ini mempermudah akses terhadap data berkualitas tinggi yang mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti. Teknologi ini dirancang open source, gratis, dan mudah digunakan tanpa lisensi khusus, menjadikannya alat strategis bagi pemerintah, masyarakat sipil, lembaga donor, hingga pelaksana lapangan.
Kegiatan “Konsultasi Pengembangan Teknologi Pemetaan Bentang Lahan” yang diselenggarakan di Palembang menjadi titik awal implementasi Epistem di Indonesia. Acara ini menggandeng berbagai pemangku kepentingan di Sumatera Selatan dan didukung oleh BMU-IKI, serta dilaksanakan bersama IIASA, CIFOR-ICRAF Indonesia, dan WRI Indonesia.
Dalam sambutannya, M. Adhie Martadhiwira, S. Sos, Pol. Admin, Sekretaris Bappeda Provinsi Sumatera Selatan, menyampaikan bahwa inisiatif ini sejalan dengan prioritas daerah untuk mencegah deforestasi dan degradasi lahan. Ia berharap teknologi ini dapat mendukung penyusunan kebijakan dan program pembangunan yang lebih terarah dan berkelanjutan.
Diharapkan dengan adanya kegiatan ini turut dapat mendukung Pemerintah Sumatera Selatan dalam penyusunan kebijakan, rencana, dan program,” kata Adhie ditanyai disela kegiatan tersebut, bertempat di Grand Atyasa Palembang, Selasa (22/4/2025).
Ditempat yang sama, Ping Yowargana, Peneliti Senior dari IIASA, menjelaskan bahwa Epistem menjawab tantangan data dengan pendekatan teknologi yang terbuka dan terstandarisasi. “Teknologi ini bisa diakses semua pihak, dan mendorong transparansi serta efisiensi dalam upaya restorasi,” ujarnya.
Sementara itu, Andree Ekadinata, Direktur CIFOR-ICRAF Indonesia, menekankan pentingnya kolaborasi multipihak dalam keberhasilan restorasi. “Teknologi hanyalah salah satu alat. Dampak nyata hanya bisa dicapai dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan sektor swasta,” katanya.
Kegiatan ini juga dimanfaatkan untuk memperkenalkan maket teknologi Epistem serta menjaring masukan dari calon pengguna untuk menyempurnakan fitur-fiturnya. Sebelumnya, pada Februari lalu, konsultasi awal juga telah dilakukan untuk memperkenalkan konsep teknologi ini dan mendengar pengalaman dari berbagai pihak yang telah berkecimpung dalam upaya restorasi lahan.
Dengan pendekatan partisipatif dan adaptif, Epistem diharapkan menjadi fondasi penting dalam mendorong solusi iklim berbasis alam yang inklusif, transparan, dan berdampak luas di Sumatera Selatan dan seluruh Indonesia.
Komentar