SUARAPUBLIK.ID, PALEMBANG – KPH Lalan Mendis, bagian dari UPTD KPH Wilayah II, baru saja menyelesaikan penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) untuk periode 2024-2033. Dokumen ini dianggap sebagai langkah penting dalam memperkuat pengelolaan hutan yang berkelanjutan di Provinsi Sumatra Selatan.
Kepala Dinas Kehutanan Sumsel, Koimudin, mengungkapkan bahwa dokumen RPHJP Lalan Mendis telah disahkan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 12392 Tahun 2024, yang menandai tonggak baru dalam pengelolaan hutan di wilayah tersebut.
“Untuk lima tahun mendatang, kami akan membahas lebih lanjut substansi RPHJP ini bersama ICRAF dan UPTD terkait. Dalam hal teknis, Lalan Mendis telah siap dengan perizinan yang lengkap, baik jangka panjang maupun jangka pendek,” ujarnya dalam acara ekspose dan pembelajaran yang berlangsung di Kantor Dinas Kehutanan Sumsel, Selasa (25/2/2025).
Dokumen RPHJP ini dirancang untuk menghadapi tantangan perubahan iklim dengan mengintegrasikan program mitigasi dalam FoLU Net Sink 2030. Selain itu, juga mengakomodasi sistem agroforestri partisipatif yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat.
“RPHJP bukan sekadar dokumen formal, tetapi merupakan panduan strategis untuk perbaikan bentang lahan dan kesejahteraan masyarakat di tingkat tapak,” kata Koimudin.
Lalan Mendis, yang mengelola area seluas 337.998 hektare, mencakup Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Produksi Konversi (HPK), serta melayani sekitar 81.920 jiwa yang tersebar di Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasin.
Koimudin juga menekankan bahwa penyusunan RPHJP ini mengacu pada PermenLHK Nomor 8 Tahun 2021 dan disinkronisasikan dengan kebijakan nasional dan daerah, termasuk program pembangunan berkelanjutan serta strategi mitigasi perubahan iklim.
“Selain itu, kami juga mengedepankan prinsip inklusivitas gender untuk memastikan bahwa manfaat pengelolaan hutan dirasakan secara merata oleh semua pihak,” tambahnya.
Pengelolaan hutan di Sumsel menghadapi berbagai tantangan, seperti kebutuhan diversifikasi pendanaan hijau, restorasi gambut kolaboratif, serta optimalisasi hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan. Penegakan hukum terkait perambahan lahan, mitigasi kebakaran hutan, dan konservasi biodiversitas juga menjadi fokus utama dalam RPHJP ini.
Dalam rangka mendukung mitigasi perubahan iklim, program FoLU Net Sink 2030 dan restorasi ekosistem gambut akan menjadi prioritas untuk mengurangi emisi karbon serta memperkuat ketahanan ekosistem di kawasan hutan.
“RPHJP ini menekankan pentingnya pengelolaan yang inklusif dan partisipatif, dengan melibatkan perempuan dan kelompok rentan, untuk memastikan akses yang adil terhadap manfaat hutan,” ujar Koimudin.
Peneliti Senior ICRAF Indonesia, Suyanto, menegaskan bahwa penyusunan RPHJP ini melibatkan berbagai pihak guna menjaga fungsi dan jasa lingkungan yang mendukung kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut.
“Dokumen ini menjadi langkah maju untuk memastikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, berkeadilan, dan responsif terhadap perubahan iklim,” tegas Suyanto.
Dengan RPHJP yang terintegrasi dalam agenda pembangunan berkelanjutan, diharapkan pengelolaan hutan di Sumsel akan memberikan manfaat jangka panjang bagi lingkungan dan masyarakat.
“Acara ekspose ini juga diharapkan menjadi referensi bagi KPH lainnya dalam menyusun dokumen perencanaan yang lebih baik dan selaras dengan kebijakan nasional,” tambah Suyanto.
Komentar