Mengenal Masjid Suro Saksi Bisu Peradaban Islam di Sumsel

SUARAPUBLIK.ID – Masjid Besar al-Mahmudiyah atau lebih dikenal dengan Masjid Suro menjadi saksi bisu peradaban Islam di Bumi Sriwijaya.

 

Pemberian nama Masjid Suro ini dikarenakan letaknya yang berada di Kampung Suro tepatnya persis di pertigaan Jalan Kirangga Wira Sentika dan Jalan Ki Gede Ing Suro, Kelurahan 30 Ilir Kecamatan Ilir Barat II. Nama tersebut melekat dikalangan masyarakat dahulu hingga sekarang.

 

“Kalau untuk nama Masjid al-Mahmudiyah ini karena diambil dari belakang nama pewakaf tanah masjid ini, yakni Kiai Haji Khatib Mahmud,” ungkap Abdul Rasyid Naning selaku Pengurus Masjid Suro, Senin (25/4).

 

Adapun sang pewakaf sendiri kata Abdul, ialah Kiai Haji Khatib Mahmud atau dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Kampung Suro yang menginginkan tanah miliknya diwakafkan untuk didirikan masjid.

 

Tibalah pada peletakkan batu pertama tahun 1310 Hijriah atau 1889 Masehi. Saat itu kondisi Indonesia masih diduduki Kolonial Belanda. Hal itu pula membuat pembangunan masjid dilakukan secara bertahap.

Baca Juga :  Ratu Dewa Ajak Pengusaha Stabilkan Harga Bahan Pokok Jelang Lebaran

 

“Masjid ini dulu belum permanen, dindingnya dari batu dan papan,” kata Abdul.

 

Berdirinya Masjid Suro diprakasai oleh Kiai Haji Abdurrahman Delamat atau Kiai Delamat usai menyelesaikan belajar di Mekkah. Diceritakan Abdul, saat usia muda Kiai Abdurrahman Delamat mendapatkan kesempatan dari Sultan Mahmud Badaruddin II untuk menempuh pendidikan di Mekkah bersama Kiai Marogan.

 

“Sultan Mahmud Badaruddin II saat itu melihat kedua pemuda ini berbakat sehingga dikirim ke Mekkah. Setelah selesai belajar, keduanya kembali pulang ke Palembang,” lanjutnya.

 

Kiai Delamat dan Kiai Marogan bekerja keras menyebarkan ajaran agama Islam di Palembang. Kiai marogan berfokus di wilayah Ulu, sementara Kiai Delamat daerah Kampung Suro.

Baca Juga :  Ratu Dewa Ajak Pengusaha Stabilkan Harga Bahan Pokok Jelang Lebaran

 

Namun, saat itu kondisi penyebaran Islam masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi sebab Belanda menjaga dengan ketat. Bahkan lebih dari 30 tahun setelah berdiri, aktivitas salat Jumat di Masjid Suro tidak diperbolehkan Belanda.

 

Pemerintah Belanda khawatir dengan adanya aktivitas tersebut membuat masyarakat Palembang melakukan pemberontakan kepada Kompeni. “Setelah 30 tahunan, Belanda akhirnya memperbolehkan salat Jumat. Dari situ masjid ini diperbaiki sedikit demi sedikit,” bebernya.

 

Kendati demikian, tidak berlaku untuk aktivitas mengaji. Menurut Abdul saat itu pembelajaran dan tadarus al-Qur’an masih dilakukan secara diam-diam.

 

Masjid yang sudah berdiri 133 tahun ini ditetapkan pemerintah Sumsel sebagai cagar budaya. Mulanya, luas lahan masjid dikatakan Abdul hanya 17 meter x 17 meter atau setengah dari bagian tengah masjid.

 

Saat ini, Masjid Suro terbagi menjadi tiga bagian yakni tengah, sisi kanan dan kiri. Untuk bagian tengah menjadi lokasi utama ketika salat atau sebagai tempat imam dan saf laki-laki.

Baca Juga :  Ratu Dewa Ajak Pengusaha Stabilkan Harga Bahan Pokok Jelang Lebaran

 

Sementara bagian kanan menjadi lokasi berbuka puasa, dan sisi kiri sebagai saf perempuan. “Sisi kanan dan kiri ini dulunya belum ada. Baru tahun 1950an lahan mulai di lebarkan,” imbuh Abdul

 

Walau sudah satu abad lebih berdiri, beberapa ornamen Masjid Suro masih terjaga keaslinya. Seperti tiang penyangga atau sokoguru, mimbar imam, dan kolam wudu laki-laki.

 

Tiang penyangga Masjid Suro terbuat dari kayu yang dibawa sang pendiri masjid, Kiai Delamat dari tanah kelahirannya yakni Musi Banyuasin.

 

Hingga saat ini, kondisi tiang penyangga ada yang masih bertahan walau dimakan rayap, dan ada juga yang sudah diganti dengan tiang dari semen. “Ini cikal bakal berdirinya masjid, kayunya sudah 100an tahun,” tutupnya.

    Komentar