SUARAPUBLIK.ID, PALEMBANG – Diperkirakan musim Kemarau akan terjadi pada Mei 2022. Mengenai kemungkinan itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Selatan telah mempesiapan pada Kabupaten/kota yang akan menjadi kawasan sebaran titik api saat terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Bencana BPBD Sumsel, Ansori, menyampaikan dari 17 Kabupaten kota yang ada di Sumsel ada sebanyak 12 daerah menjadi kawasan titik api yang cukup besar.
“Namun, enam di antaranya perlu dilakukan antisipasi dan penanggulangan lebih masif. Hal ini karena di wilayah itu didominasi dengan lahan gambut yang apabila terjadi Karhutla akan lebih sulit dipadamkan dan memakan waktu yang panjang,” ujarnya, Minggu (3/4/2022).
Keenam Kabupaten itu yakni, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir (OKI), Sebagian Ogan Ilir (OI), Banyuasin, Pali dan juga Muara Enim.
“Di Sumsel hampir semua wilayah rawan Karhutla. Apalagi kalau kondisi lahannya sudah kering. Tapi yang menjadi masalah adalah ketika lahan gambut yang terbakar, sehingga penanganannya lebih ekstra dibandingkan lahan mineral, seperti di Lahat dan Pagar Alam yang sifatnya tidak masif. Setelah terbakar dan dilakukan pemadaman api langsung mati,” jelasnya.
Dalam rangka melakukan persiapan tersebut, kata Ansori, personel yang akan diterjunkan jumlahnya sudah permanen yakni berkisar lebih dari seribu orang yang tersebar di beberapa OPD, termasuk perusahaan swasta, baik perkebunan maupun perusahaan hutan-hutan aman industri.
“Artinya untuk pengamanan dan mobilisasi tergantung dengan kondisi dan ekskalasi tapi untuk personel ada seribu lebih. Dan nanti akan disesuaikan lagi dengan kondisi di lapangan,” ujarnya.
Perihal pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Sumsel pada tahun 2022 ini, telah dilakukan aksi dini dengan melakukan apel kesiagapan personel peralatan, koordinasi operasi, pengendalian operasi pemadaman darat dan udara, operasi pemadaman darat gabungan, operasi penegakan hukum.
“Selanjutnya kami juga melakukan sosialisasi, penyebarluasan maklumat larangan membakar, aktivasi posko, patroli terpadu, teknologi modifikasi cuaca, pembuatan kanal blocking, dan audit kepatuhan perusahaan dalam kesiapsiagaan pencegahan dan pengendalian karhutla,” ungkapnya.
Berapa persen kondisi alam dapat mempengaruhi bencana karhutla sebetulnya fifty-fifty, ketika cuacanya ekstrem dan hujannya tidak lama maka kondisi alamnya masih bagus dan tidak terdegradasi artinya air bisa tertahan lama di lahan-lahan tersebut.
Permasalahannya ketika lahannya rusak air hutan tidak dapat ditampung terlalu lama akhirnya airnya cepat habis dan menyebabkan kekeringan, boleh dikatakan bahwa kondisi alam dan iklim sama besarnya memiliki pengaruh. Bagus kalau kondisi kemaraunya basah.
Sesuai dengan penelitian para ahli memang Karhutla di Indonesia, khususnya di Sumsel, sering terjadi akibat ulah manusia, baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja.
Misal yang sengaja dengan membuka lahan dan ketidaksengajaan dengan membuang putung rokok, membakar sampah dan aktivitas masyarakat di daerah rawan tersebut, memancing dan berburu. (ANA)
Komentar