SUARAPUBLIK.ID, PALEMBANG – Sawi, pakcoy, bayam, tumbuh segar di halaman samping Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Palembang. Itu semua ditanam dan dikelola oleh warga binaan di Lapas tersebut. Sejak satu tahun belakang, warga binaan di Lapas tersebut menanam dan mengelola tanaman hidroponik.
Hasilnya pun sejauh ini sudah beberapa kali panen. Istimewanya, hasil panen sayuran hidroponik ini tak dinikmati sendiri, melainkan untuk membantu pemerintah kota Palembang dalam memerangi angka stunting di wilayah tersebut.
“Kita memiliki program CSR (corporate social responsibility) berupa pelatihan dan pendampingan bagi warga binaan, sehingga mereka memiliki kemampuan usai masa hukumannya selesai. Biasanya kan bingung, mau apa pasca keluar dari Lapas. Nah di sini kita beri pelatihan agar bisa kembali berdaya saat kembali ke tengah masyarakat,” jelas Senior Supervisor CSR & SMEPP Pertamina Region Sumbagsel, Agustina Mandayati, Jumat (29/10/2021).
Ia mengungkapkan, kerjasama sinergitas dengan Lapas Kelas IIA Palembang ini sudah berjalan selama satu tahun untuk budidaya tanaman hidroponik. Hal itu, lantaran pihaknya melihat potensi yang dimiliki warga binaan.
“Sebelumnya kita pernah melakukan pemetaan, juga memberikan pelatihan kepada warga binaan disini, seperti menjahit, laundry dan hidroponik. Sebenarnya program di Lapas ini adalah replikasi dari program yang namanya Gertas atau gerakan wanita tanam sayur. Jadi sejalan dengan Lapas yang isinya wanita. Kami bekerjasama sejak tahun lalu dengan warga binaan di lapas untuk berkolaborasi menjalankan program wanita bertanam sayur melalui hidroponik,” ujar Agustina.
Diakuinya, dari program ini tentu akan ada output yang didapat. Tidak hanya bisa dikonsumsi sendiri, hasil dari hidroponik ini pun bisa menjadi penghasilan dan pendapatan bagi Lapas ataupun warga binaan itu sendiri.
“Kita ingin agar nantinya mereka (warga binaan) punya skill, jadi keluar dari sini bisa mengaplikasikan di rumah mereka. Jadi mereka bisa melanjutkan hidup setelah menjalankan masa binaan di Lapas, untuk bekal mereka saat kembali ke kehidupan normal,” jelasnya.
Dalam program ini, Pertamina memberikan bantuan alat dan juga pelatihan sumber daya manusia. Berdasar data, pihaknya sudah mengucurkan Rp300 juta sejak 2020 hingga 2021. Namun bukan dalam bentuk dana melainkan pelatihan dan penyediaan alat.
Kepala Sub Seksi Sarana Kerja Lapas Perempuan Kelas IIA Palembang, Wahdah Chairunnisa mengatakan, program pelatihan budidaya hidroponik ini sudah berjalan sejak akhir tahun 2020 lalu. “Sementara ini kita konsumsi sendiri, dan sebagian dijual kepada pegawai. Hasil pendapatannya masuk ke negara. Saat ada momen dan acara biasanya, kita ikut serta. Contohnya, bersama Pertamina untuk membagikan hasil budidaya tanaman hidroponik ke puskesmas dalam upaya pengentasan stunting di Palembang,” jelasnya.
Ia menjelaskan, untuk hidroponik ada beberapa warga binaan yang ikut terlibat. Sementara warga binaan lain fokus mengerjakan kegiatan lain seperti menjahit, bakery, laundry dan sebagainya.
“Sebelum ditempati untuk menjalankan keterampilannya, warga binaan jalani assessment terlebih dulu. Bakat mereka di bidang apa. Syarat lain adalah, mereka harus sudah menjalani setengah masa pidana. SOP-nya ada. Kita juga menempatkan mereka dengan tetap melihat kelakuan baik selama jalani masa pidana dan tidak ada pelanggaran selama masa tahanan,” jelasnya.
Untuk menjalankan tugasnya itu, pihaknya memberlakukan jam kerja mulai pukul 09.00-11.00 WIB, dan sore hari kembali jalankan tugas dibidangnya. “Di Lapas kita ini ada total 50 orang warga binaan yang menjalani 8 kegiatan yang berbeda. Termasuk hidroponik salah satunya,” jelasnya.
Darmiati, salah satu warga binaan Lapas Perempuan Kelas IIA Palembang mengungkapkan, ia sudah tiga tahun tinggal di Lapas tersebut dan menjalankan hukuman. “Saya memilih hidroponik karena memang saya suka berkebun. Saya semangat saat ikuti pelatihan dan berusaha keras untuk bisa mengaplikasikan bertanam hidroponik. Tekad saya, keluar dari sini (Lapas), saya bisa meneruskan kegiatan seperti ini di rumah,” jelasnya.
Selain itu, ia berhasil mengantongi sertifikat dari pelatihan yang diikuti dan akan menjadi modalnya saat kembali ke kehidupan normal di luar Lapas. “Hidroponik yang kami hasilkan ini biasanya kami jual ke ibu-ibu pegawai, hasilnya bisa untuk kas dan beli perlengkapan pribadi. Kami juga sering ikut pameran, termasuk saat acara pembagian sayuran hidroponik di puskesmas,” ungkapnya.
Sementara itu, penanganan stunting juga menjadi konsentrasi utama Pemerintah Kota Palembang. Stunting atau masalah gizi buruk masih menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Wakil Walikota Palembang Fitrianti Agustinda mengatakan, Pemerintah Kota Palembang berupaya keras untuk menekan angka stunting di kota tersebut.
“Namun dalam penanganan dan pencegahan stunting, pemerintah tidak bisa sendiri, melainkan butuh dukungan masyarakat dan stakeholder terkait. Stunting adalah masalah utama kita. Karena itu, semestinya mencegah sejak awal, dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat, dan juga memperbaiki program gizi di rumah,” pungkasnya. (Reza Mardiansyah)
Komentar