SUARAPUBLIK.ID, CHINA – China tengah menghadapi rekor populasi yang semakin berkurang karena angka kelahiran yang semakin rendah. Pada 2021, China mencatat rekor angka kelahiran menjadi yang terendah sejak 1949. Fenomena tersebut pun menjadikan beberapa ahli menganggap Negeri Tirai Bambu tengah menghadapi “resesi seks”.
“Resesi seks” di China ramai jadi perbincangan usai sebuah laporan dengan judul The Challenges of Law Birth rate in China rilis di Wiley pekan lalu sebagaimana dilansir cnn indonesia.
Istilah “resesi seks” merujuk pada keengganan warga China untuk menikah dan angka kelahiran yang rendah.
Dalam laporan tersebut, pada 2021 jumlah populasi di China menurun secara signifikan. Di tahun ini, hanya 7,52 kelahiran per 1.000 orang.
Di tahun yang sama, sekitar 11 juta bayi lahir. Jumlah ini menurun dibanding pada 2016, dengan 18 juta kelahiran. Melihat angka kelahiran yang rendah, mengapa China menghadapi resesi seks?
Banyak penduduk di China yang memutuskan hanya memiliki satu anak karena biaya membesarkan yang melejit, terutama di kota-kota besar.
Salah satu pekerja industri di pusat kota Changsha, Li, mengaku, tak cukup punya biaya untuk membesarkan anak, bahkan untuk satu.
“Saya tak bisa punya anak lagi. Membesarkan satu anak seperti memasukkan uang Anda ke dalam mesin penghancur kertas. Tak mungkin, saya bisa punya yang lain,” kata Li kepada Radio Free Asia, pada Januari lalu.
Membesarkan anak-anak di Cina butuh banyak biaya. Menurut warga China, setiap orang tua dari keluarga kelas menengah ke bawah harus mati-matian untuk membiayai pendidikan satu anak saja.
Sekolah-sekolah negeri pun semakin menuntut iuran selangit dan tambahan lainnya seperti pembayaran makanan hingga kegiatan ekstrakurikuler.
Salah satu upaya mengatasi fenomena ini, China pada tahun lalu mengeluarkan kebijakan baru dengan mengizinkan setiap pasangan boleh memiliki tiga anak.
Sebelum kebijakan itu muncul, Beijing hanya mengizinkan setiap pasangan mempunyai dua anak. Namun, rencana ini disebut gagal dan tak cukup mengatasi angka populasi yang rendah.
Di dekade sebelumnya, China memberlakukan satu pasang suami istri hanya boleh memiliki satu anak. Saat itu, langkah ini bertujuan mengurangi ledakan populasi yang menyebabkan China menjadi negara dengan penduduk terpadat di dunia.
Namun, kebijakan itu justru menjadi bumerang bagi Negeri Tirai Bambu yang kini mengalami angka kelahiran rendah.
Saat ini, tak sedikit warga China yang memilih tetap melajang atau menikah tanpa memiliki anak.
Menurut laporan tersebut jumlah pendaftaran pernikahan di China turun selama tujuh tahun berturut-turut. Pada 2020 angka pernikahan hanya 8,1 juta pasangan. Jumlah ini menurun 12 persen dari 2019.
Tingkat kelahiran China berada pada level 1,16 pada tahun 2021, jauh di bawah standar 2,1 OECD untuk populasi yang stabil. Angka itu termasuk yang terendah di dunia.
Salah satu perempuan di Shanghai, Li Dan, memilih hidup tanpa suami, meski secara ekonomi dia sanggup membiayai anak.
“Alasan utama bagi saya, seorang perempuan tua usia subur, tidak ada hubungannya dengan uang. Alasan utamanya karena saya perempuan lajang,” tutur Li Dan.
Demi mengatasi keengganan warga China untuk punya anak dan menikah, Presiden Xi Jinping mengeluarkan langkah-langkah baru.
Beberapa di antaranya pemerintah menjanjikan insentif pajak dan rumah, menyediakan layanan pengasuh anak, membangun lingkungan kerja yang ramah kehamilan, dan mengatur kembali soal pendidikan.
Terkait pendidikan, pemerintah juga menutup ratusan ribu les privat sebagai upaya memangkas bebas pekerjaan rumah dan kegiatan pendidikan di luar jam keluarga dan sekolah.
Pekan lalu, China juga berencana mengambil langkah agar perawatan kesuburan lebih mudah diakses dan melarang aborsi.
Pihak berwenang mengatakan akan melakukan promosi kesehatan reproduksi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sambil “mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi aborsi yang tidak diperlukan secara medis.” (*)
Komentar