Uang di RI Berlimpah, Tapi Belum Dibelanjakan Sektor Riil

SUARAPUBLIK.ID, JAKARTA – Di masa pandemi, likuiditas pasar keuangan di Indonesia berlimpah, khususnya di perbankan. Sayangnya, likuiditas ini tidak mengalir kepada sektor riil.
Hal ini yang disoroti oleh bank sentral, Bank Indonesia (BI) yang disampaikan oleh Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo.

“Kita sudah memasok likuiditas yang besar, kurang lebih kita sudah memasok hingga 5% dari total PDB. Harapannya masuk ke sektor riil, tapi masih tertahan di sektor riil,” ujarnya dalam webinar bertema Sinergi Pemerintah, BI, dan OJK dalam Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional, Jumat (19/11/2021) dikutip dari cnbc indonesia.

Pasalnya, kata Dody permintaan kredit masih relatif rendah, karena ekonomi belum tumbuh dan perbankan masih menahan, karena khawatir dengan risiko yang tinggi dari debiturnya.

“Uang tersebut akhirnya relatif menetap di perbankan, berputar di sektor keuangan, masuk ke obligasi dan beberapa investor dan meletakkan di pasar saham, obligasi, properti dan sebagian besar perbankan menempatkannya kembali di BI,” jelas Dody.

“Di situlah putaran likuiditas yang belum tersalur ke sektor riil,” kata dia melanjutkan.

Oleh karena itu, Dody mengklaim BI mencoba untuk melakukan pendekatan agar tidak membiarkan likuiditas berputar di tataran ekonomi makro saja.

BI mencoba untuk memetakan, sektor-sektor mana yang produktif dan aman, mendukung pertumbuhan ekonomi, ekspor, dan aman dari sisi jangkauan vaksinasinya.

Dari situ, BI mencoba untuk mengkomunikasikan sektor riil tersebut langsung kepada perbankannya. “Kadang kala perbankan kesulitan menemukan siapa debitur yang bagus untuk dibiayai. Ada asimetris informasi yang terjaga,” tuturnya.

“Ini KSSK bersama pemerintah melihat sektor-sektor untuk menarik perekonomian, dan dibantu insentif dari sektor keuangan. Ada 8 sampai 24 sektor,” ujar Dody lagi.

Hingga 16 November 2021, BI mengumumkan telah menambah likuiditas atau quantitative easing di perbankan sebesar Rp 137,24 triliun.

Sepanjang 2021, BI juga telah melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar perdana untuk pendanaan APBN 2021 sebesar Rp 143,32 triliun sesuai dengan Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 16 April, yang diperpanjang hingga 31 Desember 2021.

Pembelian tersebut terdiri dari Rp67,87 triliun melalui mekanisme lelang utama dan Rp75,46 triliun melalui mekanisme Greenshoe Option (GSO).

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengungkapkan, kredit perbankan pada umumnya merefleksikan aktivitas ekonomi riil, meskipun terdapat lag atau ketertinggalan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kredit.
Meskipun pertumbuhan ekonomi pada Kuartal III-2021 cenderung melambat, namun menurut Josua pertumbuhan kredit pada akhir Kuartal III-2021 menunjukan tren pemulihan kredit.

“Dimana kredit tercatat tumbuh 2,21% (year on year/yoy), meningkat dari akhir Kuartal II-2021 yang tercatat 0,59% (yoy),” ujarnya kepada CNBC Indonesia saat dihubungi.
Secara umum, kata Josua, dengan peningkatan aktivitas ekonomi sejalan dengan terkendalinya kasus Covid-19, yang diperkirakan akan mendorong aktivitas permintaan dan produksi perekonomian.

Dengan peningkatan kapasitas produksi tersebut, maka kebutuhan pembiayaan dari sektor riil pun akan cenderung meningkat sehingga akan mendorong permintaan kredit.

Josua memandang, beberapa industri, permintaan kredit masih terbatas dikarenakan ekspansi bisnis diperoleh dari dana internal, seperti misalnya industri CPO yang diuntungkan dengan tren kenaikan harga komoditas global – yang mengalami kondisi ‘cash rich’ sehingga kebutuhan pembiayaan sektor keuangan menjadi terbatas.
Kendati demikian, pemulihan sektor-sektor ekonomi pada tahun 2022 mendatang diperkirakan akan cenderung merata dan akan mendorong kebutuhan pembiayaan.

“Yang akhirnya akan mendorong peningkatan laju pertumbuhan kredit pada tahun depan sejalan dengan akselerasi pemulihan ekonomi domestik pada tahun depan,” jelas Josua. (*)

    Komentar