Sempat di Ekspor ke Luar Negeri, Produksi Rokok Pucuk Daun Nipah Kini Kian Menurun

SUARAPUBLIK.ID, PALEMBANG – Rokok daun nipah atau lebih dikenal dengan rokok pucuk, mungkin bagi kalangan milenial saat ini sudah  asing terdengar. Akan tetapi siapa sangka rokok berbahan dasar daun nipah yang diolah secara tradisional oleh pengrajin rokok pucuk, konon dahulunya mampu sejajar dengan rokok konvensional.

Di kota Palembang salah salah satu pengerajin rokok pucuk yang masih aksis yakni Kiagus Assaad. Pria paruh baya berusia 65 tahun ini masih mengelola daun nipah menjadi rokok pucuk di kediamannya di kampung Demang Jambul Laut Kelurahan 2 Ulu Kecamatan SU I Palembang.

“Tahun 70-80 an, rokok pucuk ini pernah mengalami masa jaya, hingga di ekspor keluar negeri seperti ke Jepang, Malaysia dan Singapura, bersaing dengan rokok konvensional lainnya,” kata Kiagus Assaad.

Namun, dikatakan dia pemasaran rokok pucuk tidak seluas tempo dulu, bahkan penikmat rokok pucuk hanya dapat dinikmati orang-orang tertentu saja.

Menurunnya permintaan pasar, selain kalah bersaing dengan rokok konvensional, pria paruh baya ini mengungkapkan juga terkendala dalam proses produksi rokok pucuk yang memakan waktu cukup lama.

Untuk bahan baku daun nipah diantarkan langsung oleh pengepul daun nipah yang berasal dari daerah Upang Kabupaten Banyuasin dengan menggunakan perahu dan dibeli seharga Rp4-5 ribu perikatnya.

Setelah bahan baku daun nipah didapat, lanjut kakek tiga cucu ini harus diolah terlebih dahulu sebelum rokok pucuk dapat dikonsumsi yakni bahan baku daun nipah dikupas terlebih dahulu dipisahkan dari lidi yang ada di daun nipah.

Kemudian, daun nipah yang telah dikupas lalu dijemur dibawah terik matahari memakan waktu 3 hingga 4  hari jika musim panas, namun jika musim penghujan tiba daun nipah tidak bisa diolah menjadi rokok, daunnya akan memerah dan dianggap gagal produksi.

“Daun nipah jika dikeringkan saat cuaca panas akan menggulung sendirinya menjadi lintingan rokok, untuk kemudian dilakukan proses pengasapan dengan menggunakan asap belerang,” ujarnya.

Tujuan pengasapan dengan asap belerang itu, kata Assaad agar aroma dan cita rasa rokok pucuk itu semakin nikmat saat dihisap. Untuk proses pengasapan tersebut membutuhkan waktu satu hari, usai dipotong-potong dengan ukuran tertentu menjadi lintingan rokok pucuk atau dikenal dengan istilah ngerujit.

Lebih lanjut dikatannya, usai ngerujit dengan ukuran tertentu, rokok pucuk siap dikemas dengan menggunakan kemasan berbentuk pocong yang juga berbahan baku daun nipah yang disebut atau disebut selipir.

Dikatakannya, kalau dahulu untuk proses produksi rokok pucuk dikerjakan sendiri secara turun temurun, namun sekarang hanya menerima bersih, seperti mengambil upah khusus untuk mengupas daun nipah kebanyakan diambil dari kelurahan 15 Ulu, dengan upah Rp5 ribu perikatnya.

Untuk harga satu balok rokok pucuk berisi 7 gendang atau blok berisi ribuan linting rokok pucuk, diterangkan Assaad dijual kepada pengepul melalui ekspedisi seharga Rp150 ribu dan biasanya dikirimkan keluar daerah diantaranya terbanyak di Provinsi Bengkulu dan Curup.

“Dalam satu Minggu produksi bisa sampai 10 balok rokok pucuk, dan dikirimkan melalui ekspedisi paling banyak ke Bengkulu dan Curup,” ungkapnya.

Selain daun nipah dapat diolah menjadi rokok pucuk, Assaad menjelaskan dapat diolah menjadi beberapa bentuk kerajinan lainnya seperti lidi daun nipah menjadi sapu lidi, tampah atau piring atau keranjang anyaman dari lidi nipah, serta pembungkus ketupat menjelang hari raya lebaran.

Dari usaha turun temurun tersebut, Assaad membeberkan telah berhasil menyekolahkan lima orang anaknya, bahkan salah satunya menjadi anggota TNI.

Menurut Assaad pengrajin usaha rokok pucuk saat ini selain di Kelurahan 2 Ulu, juga pengrajin usaha rokok pucuk juga ada di Kelurahan 3/4 Ulu, tepatnya di Lorong Prajurit Nangyu serta Lorong Jaya Laksana yang saat ini menjadi sentra produksi rokok pucuk terbesar di Palembang.

Kalau dahulu, terutama di Kelurahan 2 Ulu ini saja, ada beberapa pengrajin usaha, namun seiring berjalan waktu banyak yang gulung tikar akibat besarnya biaya produksi yang tidak sesuai dengan pemasukan. (ANA)

    Komentar