Kepala Desa Rajik Akui Sebagai Pembeli Timah Penambang Ilegal

Nasional52 Dilihat

SUARAPUBLIK.ID, BANGKA SELATAN – Pertambangan timah dilepas Pantai Permis, Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan, Bangka Belitung, diduga telah merusak ekosistem dan pencemaran laut.

Dalam pertambangan timah ilegal itu, diduga ada keterlibatan oknum Kepala Desa Rajik, sebagai pem-back up sekaligus penadah hasil pertambangan.

Dari hasil penelusuran awak media, tampak ada ratusan ponton beroperasi diseputaran pantai Permis yang beraktivitas. Bahkan dengan terang-terangan merusak ekosistem laut dan pantai.

Ruslan, selaku Kepala Desa Rajik mengatakan, terkait jumlah ponton timah dan ke mana hasil pertambahan, dirinya mengakui hanya sebagai pengelola dan juga pembeli.

“Jumlah seluruh ponton ada tiga kelompok jaga. Dalam setiap kelompok jaga masing-masing ada 40 ponton. Terkait hasil dari pertambangan timah tersebut saya hanya mengelola atau membelinya,” ujarnya.

“Terkait perizinan, tidak ada. Karena pemilik tambang adalah warga sekitar,” imbuhnya.

Lebih mirisnya, menurut keterangan Suhendri salah satu penjaga malam, Kepala Desa ambil bagian atau upeti dari para pekerja ponton timah yang ada di desanya. Tidak tanggung-tanggung upeti yang ia ambil dengan nominal Rp 250.000 per unit ponton dari 86 ponton dalam setiap pekan.

Padahal jelas, pekerja tambang timah tersebut ilegal tidak memiliki izin dari pihak terkait. Dapat diketahui itu artinya Kepala Desa ikut andil dalam pertambangan ilegal tersebut dan perusakan alam dan lingkungan.

Kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan. Kegiatan ini juga memicu terjadinya konflik horisontal di dalam masyarakat.

Selain itu, tambang ilegal juga mengabaikan kewajiban-kewajiban, baik terhadap Negara maupun terhadap masyarakat sekitar.

“Karena mereka tidak berizin, tentu akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab penambang sebagaimana mestinya. Mereka tidak tunduk kepada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian dananya,” jelasnya.

Berkenaan dengan hal tersebut maka kegiatan tambang ilegal itu bisa dijerat dengan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 158.

“Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 di pidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000.

“Kepada pihak Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, serta KLHK, agar menindaklanjuti hal ini. Karena sudah merugikan nelayan dan merusak ekosistem alam. Pihak terkait lainnya harap diperhatikan agar oknum yang terlibat di dalam perusakan lingkungan untuk di tindak tegas sesuai dengan sanksi hukum dan sanksi administrasi,” tegasnya.

    Komentar