Melihat Keefektifan Inovasi Sosial Menjadi Jalan Terang Kemelut Kebakaran Hutan Indonesia

Nasional52 Dilihat

SUARAPUBLIK.ID, Jakarta – Inovasi sosial diyakini bakal mampu menjadi jalan terang mengatasi kemelut kabakaran hutan di Indonesia. Juga memberikan manfaat material maupun non material. Dampak lainnya yaitu tumbuhnya sumber – sumber mata pencaharian.

 

Disisi lain, Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB), sebagai upaya semua pihak untuk mengurangi dampak kebakaran yang selama ini digunakan ketika melakukan pembukaan lahan. Dampak kebakaran tersebut semakin besar ketika lahan yang terbakar adalah lahan gambut yang susah dipadamkan.

 

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset (PR) Kependudukan Subarudi M. Wood yang mewakili Kepala PR Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, PLTB diharapkan bisa berkontribusi terhadap penurunan emisi.

 

”Melalui diskusi ini, kita akan melihat sudah sejauh mana PLTB berjalan karena harapannya program ini bisa berkontribusi besar terhadap penurunan emisi di tingkat sub nasional,” ungkap Subarudi M. Wood saat membuka secara resmi Diskusi Kemisan seri ke-6, Kamis (21/12) dengan mengusung tema ”Inovasi Sosial dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia: dari PLTB ke Perhutanan Sosial”.

 

Analis Perencanaan, Badan Perencanaan Daerah Kalimantan Barat Eka Wulandari mengatakan latar belakang permasalahannya dari kebakaran hutan dan lahan gambut yang tak terelakkan akibat pembukaan lahan oleh manusia. Sementara, Kalimantan Barat termasuk dalam provinsi yang mempunyai risiko tingkat kebakaran tinggi.

 

Berdasarkan hasil riset di lapangan, ia mengungkapkan, upaya pemerintah berinovasi dengan PLTB tidak merata diterapkan di seluruh kawasan gambut. Hal ini lantaran berbagai faktor, yaitu biaya, produksi, kebiasaan, dan sifat inovasi yang dipandang tidak pasti.

 

Menurutnya ada beberapa permasalahan yang menyebabkan penerapan inovasi PLTB belum optimal. Selain banyaknya inovasi yang masuk sehingga menyebabkan kurang dipertimbangkan. Ada pula perbedaan tingkat adopsi, sehingga mismatch dengan kebutuhan dan penerimaan calon adapter, dalam hal ini petani.

Baca Juga :  BMKG Ingatkan Cuaca Ekstrem Jelang Liburan Natal 2023 dan Tahun Baru 2024

 

”Riset penerapan inovasi tersebut kami lakukan pada dua desa yaitu Desa Rasau Jaya Umum (RJU) yang didominasi suku jawa dan Desa Teluk Bakung (TB) yang dominan suku dayak. Kedua latar belakang penduduk yang berbeda ini juga mempengaruhi beberapa perbedaan persepsi terhadap transfer inovasi PLTB,” ungkap Eka.

 

Dijelaskan Eka, Proses pertukaran informasi di lapangan juga dianggap tidak tepat sasaran. Contohnya, penyuluhan atau sosialisasi diberikan kepada orang yang tidak melakukan aktivitas di lahan yang terbakar.

 

Dari sisi pengetahuan lokal masyarakat di kedua desa tersebut sangat berbeda. Masyarakat RJU mewarisi tata cara sesuai kearifan lokal yakni ada aturan dan ritual yang harus diikuti dan sanksi bagi yang melanggar. Masyarakat TB cukup dengan membuat sekat bakar, yakni membakar sedikit – sedikit.

 

Sementara, dari sisi aktor yang seharusnya berperan penting dalam melakukan transfer inovasi, justru tidak memiliki kemampuan yang baik dibanding petani. Karena, kompetensi sebatas teori, belum bisa mengikuti perubahan dan terbuka dengan inovasi baru. kegiatan transfer pun belum terintegrasi, karena masing – masing aktor masih dengan egonya ingin diakui kinerja mereka dengan saling mengklaim hasilnya.

 

Bagi Eka, peran aktor lah yang utama untuk memberikan pemahaman penerapan inovasi tersebut. Sebab, aktor dipandang sebagai katalisator, fasilitator, dan evaluator. Adapun yang termasuk ke dalam lingkup aktor yaitu pemerintah, LSM, swasta, kelompok masyarakat, tokoh masyarakat dan agama, praktisi, perguruan tinggi, dan lembaga riset. ”Di sana kami temui Manggala Agni dan TNI/ Polri,” sebutnya.

Baca Juga :  Sambut Nataru, Kemenhub Siapkan Posko Hingga Rumuskan Kebijakan Umum

 

Sementara kasus – kasus di lapangan yang ditemuinya, antara lain belum terbangunnya kepercayaan karena belum adanya bukti keberhasilan. Masyarakat petani di sana juga merasa disalahkan terhadap kebakaran tersebut. Pertukaran informasi juga dipandang tidak berkelanjutan bahkan bisa dibilang tidak ada. Sebab, yang ada hanya berisi larangan, belum memberikan penjelasan dari inovasi yang diterapkan dan tujuan yang jelas sehingga kurang memberikan solusi. Padahal semua itu perlu integrasi dan sinergi dari semua pihak. Kondisi tersebut menyebabkan petani kurang antusias terlibat dalam proses integrasi inovasi.

 

Eka menyarankan adanya sinergi para aktor. Para aktor ini harus bisa memainkan peran dalam memberikan edukasi dan promosi inovasi PLTB untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan kesadaran berinovasi pada petani. Maka dengan terjalinnya koneksi rantai nilai inovasi PLTB, bisa dipastikan adanya kemudahan, kenyamanan, dan kesejahteraan petani.

 

Periset di PR Kependudukan lainnya, Tri Sulistyati Widyaningsih bersama timnya melakukan riset pada kelompok Perhutanan Sosial di wilayah KPH Yogyakarta. Mereka mengembangkan inovasi sosial dalam pengelolaan hutan. Caranya dengan memanfaatkan lahan perhutanan untuk meningkatkan pendapatan perekonomian, namun dengan tetap menjaga kelestarian hutan tersebut.

 

Penerapan tersebut, menurut Sulis, diawali karena upaya untuk memperbaiki kondisi hutan yang rusak akibat deforestasi dan penebangan hutan. Selain itu masih ada sejumlah masyarakat miskin yang hidupnya bergantung pada hasil hutan dan lahan. Sementara izin pemanfaatan hutan sangat kecil yakni sebatas 0,3%.

 

Sulis melakukan riset untuk mengetahui bagaimana kontribusi inovasi sosial dalam skema Perhutanan Sosial (PS) bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan di wilayah tersebut. Studi kasus yang dilakukan terhadap tiga skema pengelolaan hutan yakni Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan skema kerja sama yakni koperasi.

Baca Juga :  Ingat.. Pelunasan Biaya Ibadah Haji 1445H Mulai Dibuka 09 Januari 2024

 

Selaras dengan pendapat Eka, Sulis mengatakan aktor sebagai kunci peran penting dalam penerapan PS. Dalam hal ini kolaborasi para aktor yakni LSM, lembaga pemerintah, dan komunitas. Ia menjelaskan, faktor pendukung inovasi sosial terhadap semua skema adalah faktor internal (kepemimpinan dan partisipasi anggota) dan faktor eksternal (potensi wilayah dan dukungan prasarana).

 

”Mereka sama – sama menghadapi hambatan yaitu kebutuhan dana atau keuangan,” ungkapnya.

 

Untuk itu, ia menekankan perlunya dukungan lembaga non pemerintah. Sehingga keberadaan berbagai aktor dalam peran masing – masing akan mempengaruhi keberhasilan penerapan inovasi tersebut. Adapun pemanfaatan hutan berbasis lahan berupa hasil panen buah – buahan, empon – empon, pakan ternak, kayu bakar, dan sebagainya. Sedangkan yang tidak berbasis lahan berupa pengembangan ekowisata alam, juga usaha warung, jasa foto, penginapan, parkir, toilet, dan transportasi.

 

Dengan adanya inovasi sosial memberikan manfaat material maupun non material. Dampak lainnya yaitu tumbuhnya sumber – sumber mata pencaharian. Inovasi ini mencegah migrasi keluar karena dengan pembangunan lokal menggerakkan kegiatan baru dan hal itu menjadi penggerak perubahan sosial.

 

Sulis berpendapat, pemerintah harus terus mendorong usaha tersebut dengan tetap memberikan arahan untuk memahami tantangan dan mengidentifikasi solusi berdasarkan potensi wilayah dan jejaring yang terbangun.

 

Sumber: Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

 

    Komentar