Gugatan Kabut Asap Menguat, Ahli Sebut Perusahaan Sinar Mas Harus Bertanggung Jawab

Kota Palembang21 Dilihat

SUARAPUBLIK.ID, PALEMBANG – Gugatan warga terhadap tiga perusahaan di bawah Grup Sinar Mas kembali memasuki babak pembuktian di Pengadilan Negeri Palembang, Kamis (24/4/2025). Dalam agenda kali ini, pihak tergugat menghadirkan ahli untuk memberikan keterangan dalam sidang yang dipimpin oleh hakim Oloan Exodus Hutabarat SH MH.

Gugatan dilayangkan oleh sebelas warga Sumatera Selatan yang menilai aktivitas perusahaan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta kabut asap yang mengganggu kesehatan dan merampas hak atas lingkungan hidup yang bersih. Tiga perusahaan tergugat adalah PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries—seluruhnya berada di bawah kendali Grup Sinar Mas melalui Asia Pulp and Paper.

Sebelumnya pada 10 April 2025 pihak penggugat menghadirkan tiga ahli yang memberikan keterangan ialah Azwar Maas, guru besar ilmu tanah dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada dan ahli gambut; Andri Gunawan Wibisana, guru besar hukum lingkungan Universitas Indonesia; serta Iman Prihandono, guru besar dan dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang mendalami isu bisnis dan hak asasi manusia.

Dalam penjelasannya, Azwar Maas menguraikan secara rinci karakteristik lahan gambut dan dampak dari praktik pengeringannya. Menurutnya, lahan gambut bersifat menyukai air (hydrophilic), sehingga secara alami tidak akan kering. Namun, ketika korporasi membuka saluran kanal di area gambut, air dari lapisan tanah akan menguap, mengubah sifat gambut menjadi takut air (hydrophobic) yang membuatnya sangat mudah terbakar.

Baca Juga :  Haekal: Pembentukan BPI Danantara Merupakan Salah Satu Langkah Pemerintah Dalam Pembangunan Ekosistem Nasional

“Ketika gambut kemudian dibuka untuk saluran air, maka kandungan air dalam lahan gambut akan menguap. Proses inilah yang dapat mengeringkan lahan gambut dan mengubah karakteristiknya berubah menjadi takut air (hydrophobic). Kondisi ini berbahaya, karena akan membuat lahan gambut mudah terbakar. Jika sampai terbakar, maka kebakaran yang terjadi akan terus berlanjut, karena akan sangat sulit untuk membasahi area yang luas,” kata Azwar

Penjelasan Azwar membuka jalan bagi argumen hukum yang disampaikan oleh Andri Gunawan Wibisana. Ia menegaskan bahwa dalam konteks hukum lingkungan, berlaku prinsip pertanggungjawaban mutlak atau strict liability terhadap pelaku usaha atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan mereka. Prinsip ini telah diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta diperkuat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023.

Menurut Andri, aktivitas pengeringan lahan gambut yang dilakukan melalui pembangunan kanal-kanal merupakan bentuk dangerous activity—kegiatan berisiko tinggi yang tak bisa sepenuhnya dihindari sekalipun dengan kehati-hatian. Karena itu, pelaku usaha tetap harus bertanggung jawab jika risiko tersebut menimbulkan kerusakan atau bencana lingkungan seperti kebakaran hutan.

Baca Juga :  Eksplorasi Kecanggihan New Honda PCX160 Berakhir Seru di Honda Premium Matic Day

“Dengan strict liability, tergugat bisa dinyatakan bertanggung jawab apabila kebakaran hutan termasuk ke dalam risiko dari kegiatan atau usahanya. Pengeringan gambut dengan membangun kanal-kanal, seperti yang didalilkan penggugat, merupakan dangerous activity yang tidak bisa dikurangi risikonya bahkan dengan tindakan kehati-hatian, karena menimbulkan risiko dan peluang terjadinya kebakaran,” ujar Andri.

Masuk lebih dalam ke dimensi hak asasi manusia, Iman Prihandono menjelaskan bahwa korporasi memiliki kewajiban menghormati HAM sebagaimana tercantum dalam prinsip kedua dari United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). Ia menekankan bahwa perusahaan tidak bisa berlindung di balik legalitas izin usaha ketika aktivitas mereka terbukti merugikan masyarakat secara sistematis.

“Pilar kedua UNGPs mengatur bahwa perusahaan memiliki responsibility to respect atau menghormati HAM. Perusahaan semestinya tahu bahwa pembuatan kanal yang mereka lakukan akan berdampak mengeringkan gambut, memicu kebakaran, hingga memicu kabut asap yang lantas merenggut hak masyarakat atas udara serta lingkungan yang bersih dan sehat,” kata Iman.

Baca Juga :  Penutupan Sementara Satu Ruas Jalan Sumpah Pemuda Besok Siang, Pengendara Diimbau Ikuti Pengalihan Arus

Gugatan ini diarahkan kepada tiga perusahaan yang mengelola konsesi di kawasan Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan–Sungai Lumpur (KHG SSSL), wilayah dengan tingkat kebakaran tertinggi selama dua dekade terakhir.

 

Dalam rentang waktu 2001 hingga 2020, tercatat 473 ribu hektare lahan terbakar di dalam konsesi ketiga perusahaan itu—jumlah ini mencakup 92 persen dari total luas area terbakar di KHG SSSL. Kebakaran berulang tercatat di 175 ribu hektare lahan, terutama dalam periode 2015 hingga 2020, yang menandai skala dan kegigihan kerusakan.

“Di dalam gugatan, kami menyoroti kerusakan ekosistem gambut yang punya dampak begitu besar, menimbulkan karhutla dengan dampak asap yang berbahaya, meluas dengan durasi yang lama dan bagaimana kasus kabut asap akibat karhutla ini telah menyalahi hukum lingkungan serta merenggut hak asasi masyarakat Sumatera Selatan. Kesaksian ahli, dan para pakar hukum yang kredibel serta independen, makin menguatkan argumen kami bahwa para tergugat harus bertanggung jawab mutlak atas dampak kabut asap akibat aktivitas berbahaya mereka mengeringkan gambut hingga memicu kebakaran,” kata Sekar Banjaran Aji, salah satu tim kuasa hukum penggugat.

    Komentar