Gugatan Kabut Asap Menguat, Ahli Sebut Perusahaan Sinar Mas Harus Bertanggung Jawab

SUARAPUBLIK.ID, PALEMBANG – Gugatan perdata terhadap tiga perusahaan Grup Sinar Mas kembali bergulir di Pengadilan Negeri Palembang. Sidang lanjutan yang digelar Kamis (24/4/2025) ini memasuki babak pembuktian, dengan menghadirkan satu orang ahli dari pihak tergugat.

Ahli tersebut memberikan keterangan di hadapan majelis hakim yang diketuai oleh Oloan Exodus Hutabarat SH MH. Ia diminta menjawab tudingan yang dilayangkan sebelas warga Sumatera Selatan atas dugaan tanggung jawab tiga perusahaan kayu milik Grup Sinar MasPT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industriesdalam bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut.

Sebelumnya, pada 10 April 2025, pihak penggugat telah menghadirkan tiga ahli: Azwar Maas (guru besar ilmu tanah dan ahli gambut dari UGM), Andri Gunawan Wibisana (guru besar hukum lingkungan dari UI), dan Iman Prihandono (guru besar dan dekan Fakultas Hukum UNAIR yang fokus pada isu bisnis dan HAM).

Baca Juga :  Penutupan Sementara Satu Ruas Jalan Sumpah Pemuda Besok Siang, Pengendara Diimbau Ikuti Pengalihan Arus

Dalam kesaksiannya, Azwar Maas menjelaskan bahwa lahan gambut secara alami tidak akan mengering, karena bersifat menyukai air (hydrophilic). Namun, pembukaan kanal-kanal oleh korporasi menyebabkan air di dalam tanah menguap, mengubah sifat gambut menjadi takut air (hydrophobic), yang membuatnya sangat mudah terbakar.

“Ketika gambut kemudian dibuka untuk saluran air, maka kandungan air akan menguap. Proses ini mengubah karakteristik lahan menjadi mudah terbakar. Jika terbakar, apinya sulit dipadamkan karena area yang sangat luas,” ujarnya.

Penjelasan ini memperkuat argumen hukum dari Andri Gunawan Wibisana, yang menegaskan penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) atas kerusakan lingkungan. Ia merujuk pada Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2023. Aktivitas pengeringan gambut disebutnya sebagai “kegiatan berisiko tinggi” yang menimbulkan potensi kebakaran meskipun sudah dilakukan dengan kehati-hatian.

Baca Juga :  Haekal: Pembentukan BPI Danantara Merupakan Salah Satu Langkah Pemerintah Dalam Pembangunan Ekosistem Nasional

“Dengan strict liability, tergugat bisa dinyatakan bertanggung jawab apabila kebakaran termasuk dalam risiko usahanya,” ujar Andri.

Sementara itu, Iman Prihandono menyoroti dimensi hak asasi manusia, merujuk pada prinsip kedua United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). Ia menekankan bahwa korporasi tidak bisa berlindung di balik legalitas izin usaha bila aktivitasnya terbukti merugikan masyarakat.

“Perusahaan memiliki kewajiban menghormati HAM. Kanal yang mereka bangun mengeringkan gambut, memicu kebakaran, dan menyebabkan kabut asap yang merugikan hak warga atas udara bersih dan lingkungan sehat,” tegas Iman.

Baca Juga :  Prabowo Resmi Luncurkan Program Gerina, Kenalkan SI OPUNG dan SI CEPOT

Ketiga perusahaan tergugat diketahui mengelola konsesi di kawasan Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan–Sungai Lumpur (KHG SSSL), wilayah dengan tingkat kebakaran tertinggi dalam dua dekade terakhir.

Data menunjukkan bahwa antara tahun 2001 hingga 2020, seluas 473 ribu hektare lahan terbakar di dalam konsesi ketiga perusahaan tersebut—92 persen dari total area terbakar di KHG SSSL. Kebakaran berulang terjadi di 175 ribu hektare, terutama pada periode 2015–2020.

“Kesaksian para ahli yang kami hadirkan semakin memperkuat posisi kami bahwa aktivitas berisiko yang dilakukan para tergugat telah melanggar hukum lingkungan dan merampas hak masyarakat atas lingkungan hidup yang layak,” kata Sekar Banjaran Aji, salah satu kuasa hukum penggugat.

    Komentar